MODEL PEMBINAAN PENDIDIKAN KARAKTER
DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
BAGIAN I: UMUM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia
memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai
pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut,
pendidikan memiliki peran yang sangat penting.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan
tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk
Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus diselenggarakan secara sistematis guna
mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter
peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi
dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat
(Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan
semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan
orang lain (soft skill). Penelitian
ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses
di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter
peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan karakter adalah suatu
sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan
kamil. Dalam pendidikan karakter di
sekolah, semua komponen (stakeholders)
harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi
kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan
atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas
atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos
kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Terlepas dari
berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari
standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP),
dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di
SMP sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk
dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh
peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter
di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau
nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam
kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk
meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan
Nasional mengembangkan grand design
pendidikan karakter untuk setiap jalur,
jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional
pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang
pendidikan. Konfigurasi karakter dalam
konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan
dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional
development) , Olah Pikir (intellectual
development), Olah Raga dan Kinestetik
(Physical and kinestetic
development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective
and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan
karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur
pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat
saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan
keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan
kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik
mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari
30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan
sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah
berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.
Selama ini,
pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan
kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan
karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang
relatif tinggi, kurangnya pemahaman
orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di
lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh
negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah
satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan
karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan
informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal
ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan
mutu hasil belajar, terutama pembentukan karakter peserta didik sesuai tujuan
pendidikan dapat dicapai.
Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran
pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma
atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan,
dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran
nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada
internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari
di masyarakat.
Kegiatan ekstra kurikuler
yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial
untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan
di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui
kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga
kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan
kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta
didik.
Pendidikan karakter di
sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam
kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai.
Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian,
pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen
terkait lainnya. Dengan
demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam
pendidikan karakter di sekolah.
Menurut Mochtar Buchori
(2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan
nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke
pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini
ada di SMP perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya,
serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah
diimplementasikan di sekolah.
B. Tujuan
Pendidikan
karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan
di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia
peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi
lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara
mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan
menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia
sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada
pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku,
tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua
warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra
sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
C. Sasaran
Sasaran
pendidikan karakter adalah seluruh Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia
negeri maupun swasta. Semua warga
sekolah, meliputi para peserta didik, guru, karyawan administrasi, dan pimpinan
sekolah menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah
berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh
untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya.
Melalui
program ini diharapkan lulusan SMP memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang
utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma
dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter
nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.
D. Indikator Keberhasilan
Keberhasilan
program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh
peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan SMP, yang
antara lain meliputi sebagai berikut:
1. Mengamalkan ajaran agama
yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
2. Memahami kekurangan dan
kelebihan diri sendiri;
3. Menunjukkan sikap percaya
diri;
4. Mematuhi aturan-aturan
sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
5. Menghargai keberagaman
agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional;
6. Mencari dan menerapkan
informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis,
dan kreatif;
7. Menunjukkan kemampuan
berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
8. Menunjukkan kemampuan
belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
9. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;
10. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial;
11. Memanfaatkan lingkungan
secara bertanggung jawab;
12. Menerapkan nilai-nilai
kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi
terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
13. Menghargai karya seni dan
budaya nasional;
14. Menghargai tugas
pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
15. Menerapkan hidup bersih,
sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik;
16. Berkomunikasi dan
berinteraksi secara efektif dan santun;
17. Memahami hak dan
kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai adanya
perbedaan pendapat;
18. Menunjukkan kegemaran
membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
19. Menunjukkan keterampilan
menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris sederhana;
20. Menguasai pengetahuan
yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
21. Memiliki jiwa
kewirausahaan.
Pada
tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan
karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan
keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua
warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai
tersebut.
E. Dasar Hukum
Dasar
hukum dalam pembinaan pendidikan karakter antara lain:
1.
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
4.
Permendiknas No 39 Tahun 2008
Tentang Pembinaan Kesiswaan
5.
Permendiknas Nomor 22 Tahun
2006 Tentang Standar Isi
6.
Permendiknas Nomor 23 Tahun
2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan
7.
Rencana Pemerintah Jangka Menengah Nasional
2010-2014
8.
Renstra Kemendiknas Tahun 2010-2014
9.
Renstra Direktorat Pembinaan SMP Tahun 2010 - 2014
BAB II
PENDIDIKAN KARAKTER
Menurut
Ali Ibrahim Akbar (2009), praktik pendidikan di Indonesia cenderung lebih
berorentasi pada
pendidikan berbasis hard skill
(keterampilan teknis) yang lebih bersifat mengembangkan intelligence quotient
(IQ), namun kurang mengembangkan kemampuan soft
skill yang tertuang dalam emotional
intelligence (EQ), dan spiritual
intelligence (SQ). Pembelajaran diberbagai sekolah bahkan perguruan tinggi
lebih menekankan pada perolehan nilai hasil ulangan maupun nilai hasil ujian.
Banyak guru yang memiliki persepsi bahwa peserta didik yang memiliki kompetensi
yang baik adalah memiliki nilai hasil ulangan/ujian yang tinggi.
Seiring perkembangan jaman,
pendidikan yang hanya berbasiskan hard
skill yaitu menghasilkan lulusan yang hanya memiliki prestasi dalam
akademis, harus mulai dibenahi. Sekarang pembelajaran juga harus berbasis pada
pengembangan soft skill (interaksi
sosial) sebab ini sangat penting dalam pembentukan karakter anak bangsa
sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi
dengan masyarakat. Pendidikan soft skill
bertumpu pada pembinaan mentalitas agar peserta didik dapat menyesuaikan diri
dengan realitas kehidupan. Kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata
oleh pengetahuan dan keterampilan teknis (hard
skill) saja, tetapi juga oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft skill).
Sebenarnya dalam kurikulum KTSP
berbasis kompetensi jelas dituntut muatan soft
skill. Namun penerapannya tidaklah mudah sebab banyak tenaga pendidik tidak
memahami apa itu soft skill dan bagaimana
penerapannya. Soft skill merupakan
bagian ketrampilan dari seseorang yang lebih bersifat pada kehalusan atau
sensitifitas perasaan seseorang terhadap lingkungan di sekitarnya. Mengingat soft skill lebih mengarah kepada
ketrampilan psikologis maka dampak yang diakibatkan lebih tidak kasat mata
namun tetap bisa dirasakan. Akibat yang bisa dirasakan adalah perilaku sopan,
disiplin, keteguhan hati, kemampuan kerja sama, membantu orang lain dan
lainnya. Keabstrakan kondisi tersebut mengakibatkan soft skill tidak mampu dievaluasi secara tekstual karena
indikator-indikator soft skill lebih
mengarah pada proses eksistensi seseorang dalam kehidupannya. Pengembangan soft skill yang dimiliki oleh setiap
orang tidak sama sehingga mengakibatkan tingkatan soft skill yang dimiliki masing-masing individu juga berbeda.
A.
Konsep Pendidikan
Karakter
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan,
hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat,
temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut
Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu
kepada serangkaian sikap (attitudes),
perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa
Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana
mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku,
sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya
dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan
berkarakter mulia.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi
dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai
seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis,
kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela
berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah
hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun,
ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif,
inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai
waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta
keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga
mampu bertindak sesuai potensi dan
kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif
sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang
berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik
terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia
internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya
dan disertai dengan kesadaran, emosi dan
motivasinya (perasaannya).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter
kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai
sebagai “the deliberate use of all dimensions
of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua
komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran,
pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga
sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu
perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy
Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate
effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values.
When we think about the kind of character we want for our children, it is clear
that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is
right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure
from without and temptation from within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa
pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu
mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta
didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru
berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai
hal terkait lainnya.
Menurut
T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama
dengan pendidikan moral dan pendidikan
akhlak. Tujuannya adalah membentuk
pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria
manusia yang baik, warga masyarakat
yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai
sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi
oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam
konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia
sendiri, dalam rangka membina kepribadian
generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber
dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang
juga disebut sebagai the golden rule.
Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari
nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai
karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam
dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli,
dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah,
keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa
karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada
nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai
yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat
relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa
ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan
pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut
didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan
remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus
dekadensi moral lainnya. Bahkan di
kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah
sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga
pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat
meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan
kualitas pendidikan karakter.
Para
pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan
pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada
perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka
tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan
penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di
negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif,
pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan
tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri
peserta didik.
Berdasarkan
grand design yang dikembangkan
Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter
dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia
(kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial
kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang
hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses
psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) ,
Olah Pikir (intellectual development),
Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development),
dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and
Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai
berikut.
Olah Pikir (cerdas) Olah
Hati( jujur tanggungjawab)
Olah Raga (Kinestetik)
(bersih,sehat,menarik) Olah Rasa dan
Karsa (peduli dan kreatif)
Para
pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara
berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu:
pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan
klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan
perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang
berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan
pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian
psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan
afeksi.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa
pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan
secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku
manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama
manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata
krama, budaya, dan adat istiadat.
B.
Nilai-nilai Karakter
Berdasarkan
kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan/hukum, etika akademik,
dan prinsip-prinsip HAM, telah teridentifikasi butir-butir nilai yang
dikelompokkan menjadi lima nilai utama, yaitu nilai-nilai perilaku manusia
dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, dan
lingkungan serta kebangsaan. Berikut adalah daftar nilai-nilai utama yang
dimaksud dan diskripsi ringkasnya.
1.
Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan
a. Religius
Pikiran,
perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada
nilai-nilai Ketuhanan dan/atau ajaran agamanya.
2.
Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri
a. Jujur
Perilaku
yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai
orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan,
baik terhadap diri dan pihak lain
b. Bertanggung jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya
sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan
(alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan YME.
c. Bergaya hidup sehat
Segala
upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan hidup yang sehat
dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan.
d.
Disiplin
Tindakan
yang
menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
e.
Kerja
keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam
mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan
sebaik-baiknya.
f.
Percaya diri
Sikap
yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap
keinginan dan harapannya.
g. Berjiwa wirausaha
Sikap dan perilaku yang mandiri dan
pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru,
menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur
permodalan operasinya.
h. Berpikir logis, kritis,
kreatif, dan inovatif
Berpikir dan melakukan sesuatu secara kenyataan atau
logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan
termutakhir dari apa yang telah
dimiliki.
i.
Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
j.
Ingin
tahu
Sikap dan
tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari
apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
k.
Cinta
ilmu
Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan
kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan
yang tinggi terhadap pengetahuan.
3.
Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama
a. Sadar akan hak dan kewajiban
diri dan orang lain
Sikap
tahu dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri sendiri
dan orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain.
b. Patuh pada aturan-aturan sosial
Sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan
masyarakat dan kepentingan umum.
c.
Menghargai karya dan prestasi orang lain
Sikap
dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna
bagi masyarakat, dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.
d. Santun
Sifat
yang halus dan baik dari sudut pandang
tata bahasa maupun tata perilakunya ke semua orang.
e. Demokratis
Cara berfikir, bersikap
dan bertindak yang menilai sama
hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
4.
Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan
a. Peduli sosial dan lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan
pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk
memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi dan selalu ingin memberi bantuan bagi orang
lain dan masyarakat yang membutuhkan.
5.
Nilai kebangsaan
Cara
berpikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara
di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
a. Nasionalis
Cara berfikir, bersikap dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik
bangsanya.
b. Menghargai keberagaman
Sikap memberikan respek/ hormat
terhadap berbagai macam hal baik yang berbentuk
fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama.
C. Tahapan Pengembangan Karakter
Pengembangan atau pembentukan
karakter diyakini perlu dan penting untuk dilakukan oleh sekolah dan
stakeholders-nya untuk menjadi pijakan dalam penyelenggaraan pendidikan
karakter di sekolah. Tujuan pendidikan
karakter pada dasarnya adalah mendorong lahirnya anak-anak yang baik (insan
kamil). Tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik akan mendorong peserta
didik tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang
terbaik dan melakukan segalanya dengan benar dan memiliki tujuan hidup.
Masyarakat juga berperan membentuk karakter anak melalui orang tua dan
lingkungannya.
Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada
pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu
mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi
kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah
emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter
yang baik (components of good character)
yaitu moral knowing (pengetahuan tentang
moral), moral feeling atau perasaan
(penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral.
Hal ini diperlukan agar peserta didik dan atau warga sekolah lain yang terlibat
dalam sistem pendidikan tersebut sekaligus dapat memahami, merasakan,
menghayati, dan mengamalkan (mengerjakan) nilai-nilai kebajikan (moral).
Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi ranah
kognitif adalah kesadaran moral (moral
awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values),
penentuan sudut pandang (perspective
taking), logika moral (moral
reasoning), keberanian mengambil sikap (decision
making), dan pengenalan diri (self
knowledge). Moral feeling
merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia
berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus
dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran akan jati diri (conscience), percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita
orang lain (emphaty), cinta kebenaran
(loving the good), pengendalian diri
(self control), kerendahan hati (humility). Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan
hasil (outcome) dari dua komponen
karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan
yang baik (act morally) maka harus
dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will),
dan kebiasaan (habit).
Pengembangan karakter dalam suatu sistem pendidikan
adalah keterkaitan antara komponen-komponen karakter yang mengandung
nilai-nilai perilaku, yang dapat dilakukan atau bertindak secara bertahap dan
saling berhubungan antara pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau
emosi yang kuat untuk melaksanakannya, baik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan,
bangsa dan negara serta dunia internasional (lihat Diagram 1).
Kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa
manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar menghargai pentingnya nilai
karakter (valuing). Karena mungkin
saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan
karena tingginya penghargaan akan nilai itu. Misalnya ketika seseorang berbuat
jujur hal itu dilakukan karena dinilai oleh orang lain, bukan karena
keinginannya yang tulus untuk mengharagi nilai kejujuran itu sendiri. Oleh
karena itu dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan (domain affection atau emosi). Komponen
ini dalam pendidikan karakter disebut dengan “desiring the good” atau keinginan
untuk berbuat kebaikan. Pendidikan karakter yang baik dengan demikian harus
melibatkan bukan saja aspek “knowing the
good” (moral knowing), tetapi
juga “desiring the good” atau “loving the
good” (moral feeling), dan “acting the good” (moral action). Tanpa itu
semua manusia akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh sesuatu paham.
Dengan demikian jelas bahwa karakter dikembangkan melalui tiga langkah, yakni
mengembangkan moral
knowing, kemudian moral feeling, dan
moral action. Dengan kata lain, makin lengkap komponen moral dimiliki
manusia, maka akan makin membentuk karakter yang baik atau unggul/tangguh.
Pengembangan karakter sementara ini
direalisasikan dalam pelajaran agama, pelajaran kewarganegaraan, atau pelajaran
lainnya, yang program utamanya cenderung pada pengenalan nilai-nilai secara
kognitif, dan mendalam sampai ke penghayatan nilai secara afektif. Menurut
Mochtar Buchori (2007), pengembangan karakter seharusnya membawa anak ke
pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, akhirnya ke
pengamalan nilai secara nyata. Untuk sampai ke praksis, ada satu peristiwa
batin yang amat penting yang harus terjadi dalam diri anak, yaitu munculnya
keinginan yang sangat kuat (tekad) untuk mengamalkan nilai. Peristiwa ini
disebut Conatio, dan langkah untuk
membimbing anak membulatkan tekad ini disebut langkah konatif. Pendidikan
karakter mestinya mengikuti langkah-langkah yang sistematis, dimulai dari
pengenalan nilai secara kognitif, langkah memahami dan menghayati nilai secara
afektif, dan langkah pembentukan tekad secara konatif. Ki Hajar Dewantoro
menterjemahkannya dengan kata-kata cipta,
rasa, karsa.
D. Prinsip-Prinsip Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter
harus didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.
Mempromosikan
nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter
2.
Mengidentifikasi
karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku
3.
Menggunakan
pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter
4.
Menciptakan komunitas
sekolah yang memiliki kepedulian
5.
Memberi kesempatan
kpeada peserta didik untuk menunjukkan perilaku yang baik
6.
Memiliki cakupan
terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua peserta
didik, membangun karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses
7.
Mengusahakan
tumbuhnya motivasi diri pada para peserta didik
8.
Memfungsikan seluruh
staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk
pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama
9.
Adanya pembagian
kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan
karakter
10. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai
mitra dalam usaha membangun karakter
11. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah
sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter posisitf dalam kehidupan
peserta didik.
E. Pendidikan
Karakter Secara Terpadu melalui Pembelajaran
Di dalam pembelajaran dikenal
tiga istilah, yaitu: pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Pendekatan
pembelajaran bersifat lebih umum, berkaitan dengan seperangkat asumsi berkenaan
dengan hakikat pembelajaran. Metode pembelajaran merupakan rencana menyeluruh
tentang penyajian materi ajar secara sistematis dan berdasarkan pendekatan yang
ditentukan. Teknik pembelajaran adalah kegiatan spesifik yang diimplementasikan
dalam kelas/lab sesuai dengan pendekatan dan metode yang dipilih. Dengan
demikian dapat ditegaskan bahwa, pendekatan lebih bersifat aksiomatis, metode
bersifat prosedural, dan teknik bersifat operasional (Abdul Majid, 2005). Namun
demikian, beberapa ahli dan praktisi seringkali tidak membedakan ketiga istilah
tersebut secara tegas. Seringkali, mereka menggunakan ketiga istilah tersebut
dengan pengertian yang sama.
Setidaknya terdapat dua pertanyaan mendasar yang perlu diperhatikan
kaitannya dengan proses pembelajaran,
yaitu: (1) sejauhmana efektivitas guru dalam melaksanakan pengajaran, dan (2)
sejauhmana siswa dapat belajar dan menguasi materi pelajaran seperti yang
diharapkan. Proses pembelajaran dikatakan efektif apabila guru dapat
menyampaikan keseluruhan materi pelajaran dengan baik dan siswa dapat menguasai
substansi tersebut sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Dewasa ini dikenal berbagai
istilah mengenai pembelajaran, antara lain: pembelajaran kontekstual,
pembelajaran PAKEM, pembelajaran tuntas, pembelajaran berbasis kompetensi, dan
sebagainya. Pembelajaran profesional pada dasarnya merupakan pembelajaran yang
dirancang secara sistematis sesuai dengan tujuan, karakteristik materi
pelajaran dan karakteristik siswa, dan dilaksanakan oleh Guru yang profesional
dengan dukungan fasilitas pembelajaran memadai sehingga dapat mencapai hasil
belajar secara optimal. Dalam pelaksanaannya, pembelajaran profesional menggunakan
berbagai teknik atau metode dan media serta sumber belajar yang bervariasi
sesuai dengan karakteristik materi dan peserta didik.
Karakteristik pembelajaran
profesional antara lain: Efektif,
Efisien, aktif, Kreatif, Inovatif, Menyenangkan, dan Mencerdaskan. Tujuan pembelajaran dapat dicapai oleh peserta
didik sesuai yang diharapkan. Seluruh kompetensi (kognisi, afeksi, dan
psikomotor) dikuasai peserta didik. Aktivitas pembelajaran berfokus dan didominasi
Siswa. Guru secara aktif memantau, membimbing,dan mengarahkan kegiatan belajar siswa. Pembaharuan dan penyempurnaan
dalam pembelajaran (strategi, materi, media & sumber belajar, dll) perlu
terus dilakukan agar dicapai hasil belajar yang optimal.
Pendidikan
karakter secara terpadu di dalam pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai,
fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan
penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari
melalui proses pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar
kelas pada semua mata pelajaran. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran, selain
untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan,
juga dirancang untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan
menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.
Dalam
struktur kurikulum SMP, pada dasarnya setiap mata pelajaran memuat
materi-materi yang berkaitan dengan karakter. Secara subtantif, setidaknya
terdapat dua mata pelajaran yang terkait langsung dengan pengembangan budi
pekerti dan akhlak mulia, yaitu pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan
(PKn). Kedua mata pelajaran tersebut merupakan mata pelajaran yang secara langsung
(eksplisit) mengenalkan nilai-nilai, dan sampai taraf tertentu menjadikan
peserta didik peduli dan menginternalisasi nilai-nilai. Integrasi pendidikan
karakter pada mata-mata pelajaran di SMP mengarah pada internalisasi
nilai-nilai di dalam tingkah laku sehari-hari melalui proses pembelajaran dari
tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian.
F.
Pendidikan Karakter Secara Terpadu melalui Manajemen Sekolah
Menurut H. Koontz & O’Donnel (Aldag, 1987), manajemen berhubungan dengan pencapaian suatu tujuan yang dilakukan melalui dan dengan orang lain. Hampir senada dengan pendapat tersebut, Siregar (1987) menyatakan bahwa manajemen adalah proses yang membeda-bedakan atas: perencanaan, pengorganisasian, penggerakan pelaksanaan dan pengendalian, dengan memanfaatkan ilmu dan seni, agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Manajemen juga didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang memiliki tujuan bersama dan bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam manajemen terkandung pengertian pemanfaatan sumberdaya untuk tercapainya tujuan. Sumberdaya adalah unsur-unsur dalam manajemen, yaitu: manusia (man), bahan (materials), mesin/peralatan (machines), metode/cara kerja (methods), modal uang (money), informasi (information). Sumberdaya bersifat terbatas, sehingga tugas manajer adalah mengelola keterbatasan sumber daya secara efisien dan efektif agar tujuan tercapai.
Proses manajemen adalah proses yang berlangsung terus menerus, dimulai dari: membuat perencanaan dan pembuatan keputusan (planning); mengorganisasikan sumberdaya yang dimiliki (organizing); menerapkan kepemimpinan untuk menggerakkan sumberdaya (actuating); melaksanakan pengendalian (controlling). Proses di atas sering disebut dengan pendekatan Barat dengan konsep POAC (Planning-Organizing-Actuating-Controlling), berbeda dengan pendekatan Jepang yang dikenal dengan pendekatan PDCA (Plan-Do-Check-Action). Dalam konteks dunia pendidikan, yang dimaksudkan dengan manajemen pendidikan/sekolah adalah suatu proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan dalam upaya untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan itu sendiri.
Berdasarkan pada uraian sebelumnya, keterkaitan antara nilai-nilai perilaku dalam
komponen-komponen moral karakter (knowing,
feeling, dan action) terhadap Tuhan YME, diri sendiri, sesama, lingkungan, kebangsaan,
dan keinternasionalan membentuk suatu karakter manusia yang unggul (baik). Penyelenggaraan pendidikan
karakter memerlukan pengelolaan yang memadai. Pengelolaan yang dimaksudkan
adalah bagaimana pembentukan karakter dalam pendidikan direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan secara memadai.
Sebagai suatu sistem pendidikan, maka dalam pendidikan
karakter juga terdiri dari unsur-unsur pendidikan yang selanjutnya akan
dikelola melalui bidang-bidang perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Unsur-unsur
pendidikan karakter yang akan direncanakan,
dilaksanakan, dan dikendalikan tersebut antara lain meliputi: (a)
nilai-nilai karakter kompetensi lulusan, (b) muatan kurikulum nilai-nilai karakter,
(c) nilai-nilai karakter dalam pembelajaran, (d) nilai-nilai karakter pendidik dan tenaga
kependidikan, dan (e) nilai-nilai karakter
pembinaan kepesertadidikan.
G. Pendidikan Karakter Secara Terpadu melalui
Ekstrakurikuler
Kegiatan Ekstra Kurikuler adalah kegiatan pendidikan di
luar mata pelajaran dan pelayanan konseling
untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang
secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang
berkemampuan dan berkewenangan di sekolah.
Visi kegiatan ekstra kurikuler adalah berkembangnya
potensi, bakat dan minat secara optimal, serta tumbuhnya kemandirian dan
kebahagiaan peserta didik yang berguna
untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Misi ekstra kurikuler adalah (1)
menyediakan sejumlah kegiatan yang dapat dipilih oleh peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka;
(2) menyelenggarakan kegiatan yang memberikan
kesempatan peserta
didik mengeskpresikan diri secara bebas
melalui kegiatan mandiri dan atau kelompok.
Fungsi Kegiatan Ekstra Kurikuler meliputi:
a. Pengembangan, yaitu fungsi kegiatan
ekstra kurikuler untuk mengembangkan kemampuan dan
kreativitas peserta didik sesuai dengan potensi, bakat dan minat mereka.
b. Sosial, yaitu fungsi kegiatan ekstra
kurikuler untuk mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial peserta
didik.
c. Rekreatif, yaitu fungsi kegiatan ekstra
kurikuler untuk mengembangkan suasana rileks, mengembirakan dan menyenangkan
bagi peserta didik yang menunjang proses perkembangan.
d. Persiapan karir, yaitu fungsi kegiatan
ekstra kurikuler untuk mengembangkan kesiapan karir peserta didik.
Prinsip Kegiatan Ekstra
Kurikuler
a. Individual, yaitu prinsip kegiatan
ekstra kurikuler yang sesuai dengan potensi, bakat dan minat peserta didik
masing-masing.
b. Pilihan, yaitu prinsip kegiatan ekstra
kurikuler yang sesuai dengan keinginan dan diikuti secara sukarela peserta
didik.
c. Keterlibatan aktif, yaitu prinsip
kegiatan ekstra kurikuler yang menuntut keikutsertaan peserta didik secara
penuh.
d. Menyenangkan, yaitu prinsip kegiatan
ekstra kurikuler dalam suasana yang disukai dan
mengembirakan peserta didik.
e. Etos kerja, yaitu prinsip kegiatan
ekstra kurikuler yang membangun semangat peserta didik untuk bekerja dengan
baik dan berhasil.
f. Kemanfaatan sosial, yaitu prinsip
kegiatan ekstra kurikuler yang dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat.
BAB III
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KARAKTER
Penyelenggaraan pendidikan karakter di SMP dilakukan
secara terpadu melalui 3 (tiga) jalur, yaitu: Pembelajaran, Manajemen Sekolah,
dan Ekstrakurikuler. Langkah pendidikan
karakter meliputi: Perancangan,
Implementasi, Evaluasi, dan Tindak lanjut.
A. Perancangan
Beberapa hal yang perlu
dilakukan dalam tahap penyusunan rancangan antara lain:
1.
Mengidentifikasi
jenis-jenis kegiatan di sekolah yang dapat merealisasikan pendidikan karakter
yang perlu dikuasai, dan direalisasikan peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hal ini, program pendidikan karakter peserta didik direalisasikan dalam
tiga kelompok kegiatan, yaitu (a) terpadu dengan pembelajaran pada mata
pelajaran; (b) terpadu dengan manajemen sekolah; dan (c) terpadu melalui
kegiatan ekstra kurikuler.
2.
Mengembangkan
materi pembelajaran untuk setiap jenis kegiatan di sekolah
3.
Mengembangkan
rancangan pelaksanaan setiap kegiatan di sekolah (tujuan, materi, fasilitas,
jadwal, pengajar/fasilitator, pendekatan pelaksanaan, evaluasi)
4.
Menyiapkan
fasilitas pendukung pelaksanaan program pembentukan karakter di sekolah
Perencanaan kegiatan program pendidikan karakter di sekolah
mengacu pada jenis-jenis kegiatan, yang setidaknya memuat unsur-unsur: Tujuan,
Sasaran kegiatan, Substansi kegiatan, Pelaksana
kegiatan dan pihak-pihak yang terkait, Mekanisme Pelaksanaan, Keorganisasian, Waktu dan Tempat, serta fasilitas pendukung.
B. Implementasi
Pendidikan karakter di
sekolah dilaksanakan dalam tiga kelompok kegiatan, yaitu:
1. Pembentukan karakter yang terpadu
dengan pembelajaran pada mata pelajaran;
Berbagai hal yang terkait
dengan karakter (nilai-nilai, norma, iman dan ketaqwaan, dll) dirancang dan
diimplementasikan dalam pembelajaran mata pelajaran-mata pelajaran yang
terkait, seperti Agama, PKn, IPS, IPA, Penjas Orkes, dan lain-lainnya. Hal ini
dimulai dengan pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara
afektif, akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata oleh peserta didik dalam
kehidupan sehari-hari.
2.
Pembentukan Karakter yang terpadu dengan manajemen sekolah;
Berbagai hal yang terkait
dengan karakter (nilai-nilai, norma, iman dan ketaqwaan, dll) dirancang dan
diimplementasikan dalam aktivitas manajemen sekolah, seperti pengelolaan:
siswa, regulasi/peraturan sekolah, sumber daya manusia, sarana dan prasarana,
keuangan, perpustakaan, pembelajaran, penilaian, dan informasi, serta
pengelolaan lainnya.
3.
Pembentukan karakter yang terpadu dengan Ekstra Kurikuler
a. Beberapa kegiatan ekstra
kurikuler yang memuat pembentukan karakter antara lain:
b. Olah raga (sepak bola,
bola voli, bulu tangkis, tenis meja, dll),
c. Keagamaan (baca tulis Al
Qur’an, kajian hadis, ibadah, dll),
d. Seni Budaya (menari,
menyanyi, melukis, teater),
e. KIR,
f.
Kepramukaan,
g.
Latihan Dasar Kepemimpinan
Peserta didik (LDKS),
h.
Palang Merah Remaja (PMR),
i.
Pasukan Pengibar Bendera
Pusaka (PASKIBRAKA),
j.
Pameran, Lokakarya,
k.
Kesehatan, dan lain-lainnya.
C.
Monitoring dan Evaluasi
Monitoring
merupakan serangkaian kegiatan untuk memantau proses pelaksanaan program
pembinaan pendidikan karakter. Fokus kegiatan monitoring adalah pada kesesuaian
proses pelaksanaan program pendidikan karakter berdasarkan tahapan atau
prosedur yang telah ditetapkan. Evaluasi cenderung untuk mengetahui sejauhmana
efektivitas program pendidikan karakter berdasarkan pencapaian tujuan yang
telah ditentukan. Hasil monitoring digunakan sebagai umpan balik untuk
menyempurnakan proses pelaksanaan program pendidikan karakter.
Monitoring
dan Evaluasi secara umum bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas
program pembinaan pendidikan karakter sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Lebih lanjut secara
rinci tujuan monitoring dan evaluasi pembentukan karakter adalah sebagai berikut:
1.
Melakukan pengamatan dan
pembimbingan secara langsung keterlaksanaan program pendidikan
karakter di sekolah.
2.
Memperoleh gambaran mutu pendidikan
karakter di sekolah secara umum.
3.
Melihat kendala-kendala
yang terjadi dalam pelaksanaan program dan mengidentifikasi masalah yang ada,
dan selanjutnya mencari solusi yang komprehensif agar program pendidikan
karakter dapat tercapai.
4.
Mengumpulkan dan
menganalisis data yang ditemukan di lapangan untuk menyusun rekomendasi terkait
perbaikan pelaksanaan program pendidikan karakter ke depan.
5.
Memberikan masukan kepada
pihak yang memerlukan untuk bahan pembinaan dan peningkatan kualitas program pembentukan
karakter.
6.
Mengetahui tingkat
keberhasilan implementasi program pembinaan pendidikan
karakter di sekolah.
D.
Tindak Lanjut
Hasil
monitoring dan evaluasi dari implementasi program pembinaan pendidikan karakter
digunakan sebagai acuan untuk menyempurnakan program, mencakup penyempurnaan
rancangan, mekanisme pelaksanaan, dukungan fasilitas, sumber daya manusia, dan
manajemen sekolah yang terkait dengan implementasi program.
(Baca Kelanjutan Di Bagian
Selanjutnya)
Referensi
: Dikutip dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar